Senin, 26 September 2011

REFORMASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI RIAU

ditulis oleh Nelson Sitohang

Indonesia mengalami kebakaran serius selama tahun 1997-1998 yang membakar hutan dan lahan, terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan serta asap yang menyertainya menyebabkan kerusakan serius pada hutan, pencemaran udara, masalah kesehatan masyarakat, kematian, kerusakan harta benda dan pilihan sumber penghidupan serta kerugian ekonomi lain di sebagian besar wilayah bagian selatan Asia Tenggara (Applegate, dkk 2004). Ada berbagai pendapat di antara lembaga-lembaga dan pihak lain mengenai luas lahan yang terbakar di antara lembaga-lembaga dan pihak lain mengenai luas lahan yang terbakar dalam kebakaran hutan dan lahan selama periode itu (FWI/GFW 2001).

Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW) (2001), memperkirakan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 telah menghabiskan kawasan hutan seluas + 4,8 juta hektar dan secara ekonomi dampak bencana tersebut telah merugikan negara + Rp. 10 Triliun. Dampak kesehatan yang ditimbulkan bencana ini juga sangat luar biasa. Berdasarkan hasil studi di 8 propinsi tercatat ada 527 kasus kematian, 1.446.120 kasus ISPA, 298.125 kasus Asma dan 58.095 kasus Bronkhitis.

Sebagian besar dari kebakaran dan kabut asap yang menyertainya disebabkan oleh pembakaran tidak sah oleh pemilik lahan besar dan kecil, oleh perencanaan dan praktek penanggulangan kebakaran yang tidak tepat untuk melindungi sumber daya, selain juga kebijakan tata guna lahan yang kurang tepat, serta pelaksanaan yang tidak memadai dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada yang dirancang untuk mengurangi kebakaran lahan dan hutan. Peristiwa El Niño juga dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan serius di Indonesia (Applegate, dkk 2004).

Kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau sampai saat ini juga masih masalah serius di Propinsi Riau dan setiap tahu masih terjadi baik di lahan masyarakat maupun di lahan perusahaan dan kawasan lindung. Pada tahun 2005 saja luas lahan terbakar di Propinsi Riau diperkirakan mendekati angka 70.000 Ha tersebar di 11 Kab/Kota yang ada di Riau (BAPEDAL 2005).

Kebijakan pemerintah berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan dapat dilihat dari dikeluarkannya berbagai peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan kebabakaran hutan dan lahan antara lain: UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Hayati, UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi dari Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati, UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi dari Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Adinugroho, dkk. 2005 dan Purbowaseso 2004).

Langkah-langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan dan lahan antara lain (Adinugroho, dkk. 2005):

a. Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya.
b. Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB).
c. Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumberdaya manusia baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun perusahaan.
d. Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang ditetapkan.
e. Melakukan kerjasama teknik dengan negara-negara donor.
f. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
g. Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan.
h. Peningkatan upaya penegakan hukum.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, bahwa kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia merupakan tugas dan tanggung jawab setiap warga negara, dunia usaha, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat. Dalam peraturan dan perundangan tersebut dikatakan (Adinugroho, dkk. 2005):

Ø Setiap orang berkewajiban mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Ø Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran hutan di hutan negara.
Ø Penanggung jawab usaha (perorangan, badan usah milik swasta/negara/daerah, koperasi, yayasan) bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran di lokasi usahanya.
Ø Pengendalian kebakaran hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang hak.

Berbagai kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan termasuk perundang-undangan yang ada selama ini, baik di tingkat nasional maupun daerah berkaitan belum mampu menurunkan atau menghentikan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau yang merupakan salah satu isu lingkungan hidup penting di Propinsi Riau dan Nasional.

Untuk itu perlu dilakukan studi terhadap kebijakan pemerintah menyangkut kebakaran hutan dan lahan yang digunakan dalam pengendalian Karhutla selama ini meliputi kebijakan operasional maupun kelembagaan dalam kaitannya dengan tingkat efektifitas kebijakan tersebut dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau serta melakukan reformasi kebijakan pemerintah yang operasional dan efektif yang mampu menurunkan kejadian kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya di Propinsi Riau.

Reformasi dan intervensi kebijakan yang dibahas di bawah ini memfokuskan pada aspek teknis/operasional dan kelembagaan yang berhubungan dengan perbaikan tata guna lahan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Yang dibahas merupakan masalah-masalah primer/utama, yang bila diatasi secara efektif akan secara berarti mengurangi kejadian penyebaran kebakaran di Propinsi Riau. Pada saat yang sama juga mengurangi sebagian besar masalah kabut asap. Kebijakan-kebijakan yang akan dibahas adalah:

1. Pengelolaan dan zonasi tata guna lahan untuk mencegah kebakaran secara efektif.
2. Tebang habis bagi konversi lahan untuk budidaya.
3. Sistem informasi kekeringan dan kebakaran.
4. Penguatan institusi: pengembangan kapasitas lokal.

Pengelolaan dan Zonasi Tata Guna Lahan untuk Mencegah Kebakaran Secara Efektif

Tata ruang dan zonasi tata guna lahan merupakan masalah penting, terutama pada tingkat propinsi dan kab/kota. Menurut peraturan, setiap propinsi diwajibkan mengembangkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang disepakati secara penuh. Identifikasi dan zonasi tata guna lahan seharusnya dibuat berdasarkan RTRWP tersebut. Banyak bukti menunjukkan bahwa RTRWP belum rampung dan belum disetujui. Selain itu kualitas, keandalan, dan transparansi RTRWP tersebut juga tidak dijamin. Rencana tersebut sering sekali berbeda dengan klasifikasi lahan dari Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang lama, yang masih diandalkan oleh Dephut (Barber, dkk. 1999). Di sisi lain RTRW sering mengalami manipulasi politik lokal atau dengan mudah diabaikan dalam hal alokasi lahan. Perlu dilakukan usaha-usaha untuk menyediakan kapasitas dan fasilitas guna menyelesaikan RTRWP Propinsi Riau sebagai masalah berprioritas tinggi sehingga RTRWP tersebut dapat dipakai untuk zonasi, tata guna dan pengelolaan lahan yang dapat diandalkan.

Seluruh tanah gambut (peatlands) di Propinsi Riau seharusnya diidentifikasi dan diberi batas serta dimasukkan ke dalam Rencana Tata Guna Lahan karena resiko kebakaran di tanah gambut cukup tinggi bila dilakukan penebangan dan drainase (pengeringan) misalnya dengan adanya kanalisasi serta kemampuan tanah gambut untuk menghasilkan kabut dan asap berbahaya. Untuk itu diperlukan peraturan khusus mengenai pembukaan lahan gambut. Segala macam pembakaran, termasuk pembakaran terkendali (controlled burning) harus diatur secara ketat.

Perlu adanya upaya-upaya untuk segera merehabilitasi lahan gambut yang telah dibuka. Perhatian yang cermat perlu diberikan pada lokasi dan kapasitas dari industri kayu termasuk pabrik bubur kertas (Pulp) guna membangun kapasitas yang tepat dan realistis sehubungan dengan suplai bahan baku di masa mendatang dan untuk menempatkan pabrik-pabrik di kawasan yang ramah lingkungan dan ekonomis dari sisi lokasi dan kebutuhan serat mereka.

Tebang Habis untuk Konversi ke Kegiatan Budidaya

Seluruh proses perizinan perlu disederhanakan dan ditetapkan dalam suatu kesatuan prosedur standar yang konsisten bagi HTI dan perkebunan. Seluruh surat Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk menebang kayu di lahan yang diidentifikasi pemerintah untuk konvesi seharusnya diawasi dengan baik sehingga tidak terjadi pengalihan lahan hutan untuk penggunaan lain, seperti untuk perkebunan kelapa sawit.

Mengingat posisi Propinsi Riau yang unik dengan berbagai kemungkinan yang besar untuk menjadi daerah resapan karbon dioksida (CO2) melalui hutan tanaman yang strategis di daerah yang ditumbuhi alang-alang (imperata cyclindrica), penting bagi Propinsi Riau untuk melakukan kajian kemungkinan untuk perdagangan karbon (Carbon Trade). Rehabilitasi padang alang-alang dengan tanaman perkebunan yang produktif dan prospek pasar yang positif akan mengurangi tekanan untuk menebang habis dan membakar kawasan lahan gambut guna dikonversi menjadi HTI dan pertanian (Bratasida 2003).

Sistem Informasi Kekeringan dan Kebakaran

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) adalah sumberdaya pemerintah yang kapasitas manajemen informasinya perlu dipertahankan dan diperluas guna memberikan ramalan cuaca sebagai bagian penting dari Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) termasuk di Propinsi Riau. BMG perlu memiliki komunikasi elektronik yang dapat diandalkan dengan stasiun-stasiun cuacanya dan dengan seluruh Oranisasi Pengendalian Kebakakaran Hutan dan Lahan (DALKARHUTLA) di Propinsi Riau. BMG Riau seharusnya mempunyai website yang diperbaharui terus-menerus untuk ramalan nasional dan regional/propinsi. Seharusnya seluruh organisasi DALKARHUTLA di Propinsi Riau seharusnya memiliki fasilitas komputer yang mampu mengakses dan menganalisis data dan informasi cuaca, titik panas (hotspot) dan kebakaran yang berasal dari sumber-sumber lokal, nasional dan internasional.

Setiap Kabupaten/Kota di Propinsi Riau terutama yang rawan kebakaran sebaiknya mempunyai suatu “Indeks Bahaya Kebakaran Kab/Kota” dan secara teratur menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi-kondisi bahaya kebakaran. PUSDALKARHUTLA sebagai markas strategis selama masa kebakaran, seharusnya memiliki kapasitas komunikasi untuk menunjukkan kebakaran dan berkomunikasi secara efektif dengan pemadam kebakaran.

Penguatan Kelembagaan: Pengembangan Kapasitas Lokal

Sesuai dengan RTRWP dan ciri khas setiap kab/kota, perlu dirancang “Rencana Pemadaman dan Pencegahan Kebakaran Propinsi”. Masalah koordinasi di antara badan/dinas/instansi terkait (misalnya siapa, kapan dan bagaimana) sebaiknya didefenisikan secara jelas dalam rencana ini. Diperlukan Institusi Penelitian dan Pengembangan Kebakaran di Propinsi Riau untuk melakukan penelitian mengenai sifat-sifat kebakaran dan kabut asap di berbagai wilayah Propinsi Riau. Penelitian tersebut sebaiknya digunakan untuk membantu Kab/Kota menyiapkan rencana pemadaman dan pencegahan kebakaran.

Memperkuat penegakan peraturan kehutanan di tingkat propinsi dan kabupaten guna meningkatkan pencegahan kebakaran hutan dan menyediakan koordinator kunci untuk pemadam kebakaran akan sangat berguna. Dibutuhkan peningkatan jumlah personil perlindungan hutan yang terlatih dan peningkatan secara sistematis jumlah personil pemadam kebakaran yang terlatih dan peningkatan secara sistematis kapasitas dari seluruh pelayanan dan otoritas yang berkaitan dengan pengendaliaan kebakaran mulai dari tingkat Propinsi sampai tingkat desa/kelurahan.

Diperlukan program pelatihan di tingkat propinsi guna melatih para pelatih (training of trainer) dalam kesiapan menghadapi kebakaran dan mencegah kebakaran. Pelatih-pelatih ini selanjutnya dikirim ke seluruh kab/kota terutama yang rawan karhutla guna melatih penduduk setempat dalam teknik-teknik penting dan guna melakukan simulasi operasi pemadaman kebakaran sebagai bagian dari latihan di berbagai kab/kota.

Kesadaran dan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan, pengendalian dan pemadaman kebakaran amat penting bagi program penanggulangan yang efektif, program penyadaran masyarakat sebaiknya segera dilaksanakan di seluruh Propinsi Riau. Sebagian dana pendukung untuk memulai program ini bisa berasal dari pemerintah kab/kota di Propinsi Riau.

Untuk pencegahan dan pemadaman kebakaran yang efektif, diperlukan perencanaan, pelatihan dan operasi strategis yang jelas dan dikembangkan dengan baik di tingkat kab/kota. Antara kab/kota yang satu dan lainnya mungkin terdapat perbedaan dari segi lingkungan dan manusianya. Beberapa kab/kota memiliki lebih banyak hutan dan pada lainnya, sebagian memiliki areal tanah gambut yang lebih luas (seperti INHIL, Bengkalis, ROHIL, Siak dan Dumai) daripada kab/kota lainnya (BAPEDAL Riau 2003). Beberapa kab/kota memiliki proporsi konsesi HPH atau HTI yang lebih besar, sedangkan yang lainnya memiliki lebih banyak kegiatan perkebunan atau pertanian rakyat skala kecil. Tidak ada satu sistem pencegahan kebakaran dan rencana pemadaman yang sesuai dengan semua kebutuhan berbagai kab/kota yang ada Riau.

Kebutuhan pertama adalah melakukan penelitian yang lebih terarah tentang sifat kebakaran di jenis-jenis hutan dan atau lahan yang berbeda. Misalnya kebakaran di HTI akasia mempunyai masalah berbeda dari kebakaran di hutan dipterocarpaceae; kebakaran di lahan mineral berbeda dengan di lahan gambut, kebakaran di kawasan lindung berbeda dengan di eks HPH (Adinugroho, dkk. 2005). Hanya berlandaskan penelitian seseorang dapat memulai merancang rencana propinsi dengan penekanan situasi kab/kota yang berbeda-beda. Menyusun rencana pencegahan kebakaran propinsi adalah prioritas utama. Hal tersebut bahkan memiliki signifikansi yang lebih besar saat ini mengingat proses desentralisasi dan otonomi daerah yang kualitasnya semakin baik (Bratasida 2003).

Kebutuhan kedua adalah mengadakan program pelatihan dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program pelatihan tersebut akan memerlukan beberapa tahap. Pada tingkat propinsi diperlukan program pelatihan yang intensif dan berkualiatas tinggi guna melatih para pelatih dalam persiapan menghadapi kebakaran dan dalam teknik memadamkan api. Begitu selesai dilatih, para pelatih segera dikirimkan ke kab/kota untuk menjalankan sekolah pelatihan tingkat lokal dan melalui kerjasama dengan berbagai instansi di tingkat kab/kota melangsungkan simulasi operasi pemadaman kebakaran di lapangan.

Penerapan usulan reformasi kebijakan untuk penanggulangan kebakaran di Indonesia memerlukan pendekatan berjenjang yang melibatkan tiga tahap utama. Tahap pertama adalah menyiapkan sebuah investasi yang dapat diterima pada tingkat propinsi dan kab/kota dan dimasukkan ke dalam Rencana Tindak Terpadu untuk Penanggulangan Kebakaran di Propinsi Riau. Tahap kedua tergantung kepada kepastian bahwa pemerintah Propinsi Riau akan melakukan perubahan dan perbaikan kebijakan yang penting disertai peraturan-peraturan yang tepat yang dipakai secara universal pada tingkat kab/kota. Tahap ketiga adalah memastikan pelaksanaan komponen-komponen dari strategi manapun dengan mempromosikan nilai serta keefektifannya kepada instansi atau lembaga terkait.

Bidang-bidang yang perlu diperkuat diidentifikasi dan membentuk basis bagi rekomendasi untuk membangun kapasitas pengelolaan kebakaran yang kuat adalah sebagai berikut:

a. Rasionalisasi koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau dan Kab/Kota.
b. Penguatan kapasitas untuk mengembangkan rencana pengendalian kebakaran di tingkat lokal guna memfasilitasi rasa memiliki.
c. Pelatihan kebakaran yang terdesentralisasi bagi penduduk lokal.
d. Pendidikan dan program penyebaran informasi untuk meningkatkan program pencegahan.
e. Pengembangan sistem peringatan dini.
f. Peningkatan kemampuan deteksi.
g. Pemetaan yang terus di-upgrade.

Di tingkat Propinsi atau kab/kota terlihat secara nyata adanya program pencegahan dan kesiapan yang substansial untuk mengendalikan kebakaran yang tidak sengaja atau merambat secara tidak sengaja. Berikut ini alasan bagi kurangnya kesiapan (Applegate, 2003):

a. Struktur yang tidak memadai untuk merespons peringatan dini dan dalam menyediakan informasi serta panduan bagi operator lapangan.
b. Tidak ada kepemilikan yang jelas atas tanah adat, sehingga tidak ada perlindungan atau kesiapan dibandingkan dengan tanah milik pribadi atau milik perusahaan.
c. Tidak ada sistem perizinan untuk mengatur pemakaian api pada periode bahaya kebakaran.
d. Tidak ada proses pendidikan dan proses informasi yang tepat dan sistematik untuk meminimalkan kebakaran selama periode berbahaya.
e. Jelas dibutuhkan pendekatan sistematik untuk pencegahan, diawali dengan kampanye pendidikan masyarakat dan sistem penyebaran informasi yang serius untuk menjamin bahwa pesan diterima dengan baik oleh masyarakat terutama daerah rawan kebakaran.

Kondisi di atas menyarankan bahwa pemecahan masalah tidak akan ditemukan dengan menggunakan teknologi tinggi di lapangan, tempat terjadinya kebakaran, yang dibutuhkan adalah petugas kebakaran yang terlatih, terkoordinasi dan dilengkapi peralatan yang baik, serta pengembangan sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan pemerintah Propinsi Riau bersama pemerintah Kab/Kota.

Berbagai hal perlu diusulkan ke Pemerintah Propinsi Riau dalam rangka mengembangkan lebih lanjut suatu rencana tindakan terpadu pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau guna mencapai tugas-tugas sebagai berikut:

- Mengembangkan kebijakan, standar peraturan dan perundangan dan panduan yang diperlukan di tingkat propinsi, kab/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan perusahaan.
- Memperkuat tanggapan/respons yang terkoordinasi untuk pemadaman api dan pencegahan kebakaran di tingkat propinsi, kab/kota, kecamatan, kelurahan/desa dan perusahaan.
- Mengembangkan Sistem Peringatan Dini (SPD) Propinsi dan kab/kota yang baik dan terkoordinasi.
- Mengembangkan pendekatan yang terkoordinasi dan terpadu untuk mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk rehabilitasi dan pemulihan ekonomis dari lahan yang terdegradasi karena kebakaran di kawasan yang terpilih sebagai berprioritas tinggi serta di kawasan lindung.
- Meningkatkan kapasitas dan kemampuan kelembagaan dari organisasi-organisasi pengendalian karhutla yang ada di Propinsi Riau.

Senin, 19 September 2011

MELIHAT PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN DI RIAU DAN MENAWARKAN STRATEGI PENGENDALIAN KE DEPAN

ditulis oleh Nelson Sitohang

Kejadian Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Karhutla) masih merupakan salah satu isu lingkungan hidup prioritas di Propinsi Riau. Frekuensi kejadian Karhutla rutin setiap tahun yang menyebabkan kerusakan berbagai ekosistem, aktifitas masyarakat dan bisnis terganggu dan dampak kepada kesehatan masyarakat serta mengusik kenyamanan dan kesehatan negara-negara tetangga akibat kabut asap yang ditimbulkan, yang pada akhirnya memperburuk citra Indonesia karena dianggap tidak berkomitmen dalam pelestarian lingkungan hidup.

Masyarakat sering mempertanyakan peran dan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah Karhutla ini, tetapi sepertinya pemerintah mempunyai rasa percaya diri yang tinggi akan mampu mengendalikan Karhutla di bumi lancang kuning tahun ini sesuai dengan pernyataan dan janjinya di berbagai media dan bahkan pernah dideklarasikan Riau Bebas Asap Tahun 2005. Kenyataannya bahwa sejak kejadian Karhutla terbesar di Indonesia tahun 1997/1998 yang telah menghabiskan kawasan hutan seluas + 4,8 juta hektar dan merugikan negara + Rp. 10 Triliun dan menyebabkan 527 kasus kematian, 1.446.120 kasus ISPA, 298.125 kasus Asma dan 58.095 kasus Bronkhitis (FWI/GFW 2002), belum cukup bagi pemerintah di semua tingkatan untuk lebih serius mengembangkan strategi pengendalian Karhulta yang efektif dan mampu menghentikan Karhutla dan kabut asap.

Meskipun 1 minggu terakhir ini terlihat adanya penurunan jumlah hotspot dan asap yang sudah hampir hilang dari kota-kota di Propinsi, tidak menjamin kejadian ini tidak akan berulang di waktu mendatang. Pemadaman api lapangan lebih disebabkan oleh turunnya hujan dengan intensitas yang cukup tinggi beberapa hari terakhir tetapi jika kegiatan pencegahan di lapangan tidak dilakukan dalam waktu dekat asap juga akan menyelimuti kawasan-kawasan permukiman di Propinsi Riau.

Sebelum mengembangkan berbagai pendekatan pengendalian Karhutla di Propinsi Riau ada baiknya melihat permasalahan Karhutla dan pengendalian Karhutla di Riau sehingga jelas bagi semua stakeholders simpul mana yang harus diputuskan dalam mengurangi atau mengakhiri kejadian Karhutla di Riau pada masa mendatang. Kemudian akan dilakukan peninjauan terhadap substansi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau (PUSDALKARHUTLA) yang merupakan kebijakan pokok pemerintah dalam mengelola pengendalian Karhutla di Propinsi Riau.

Berdasarkan hasil pemetaan daerah Rawan Karhutla Tahun 2004 yang dilakukan oleh BAPEDAL Propinsi Riau bekerjasama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup R.I. telah diidentifikasi lokasi-lokasi Rawan Karhutla di Riau dengan mempertimbangkan seluruh variabel yang menentukan suatu daerah dapat dikategorikan Daerah Rawan Karhutla.

Dari hasil pemetaan tersebut diketahui sebanyak 45 Kecamatan, 76 Desa/Kelurahan rawan sampai sangat rawan dan 184 desa agak rawan Kahurtla. Jumlah desa rawan terbanyak di Kab. Bengkalis (16 desa), kemudian di Kab. Rokan Hilir (13 Desa), Pelalawan (11 desa), Indragiri Hilir dan Siak masing-masing 6 desa. Sedangkan di Kota Pekanbaru dan Kab. Kuantan Singingi tidak terdapat desa/kelurahan rawan Karhutla (BAPEDAL Riau 2005).

Secara teori, indikasi kejadian Karhutla biasanya diukur dengan pemunculan titik panas (hotspot) hasil deteksi satelit the US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), dimana semakin tinggi angka hotspot di suatu lokasi semakin tinggi kemungkinan di daerah tersebut terjadi kebakaran/ditemukan titik api (firespot). Kedua istilah ini sering sekali disalahartikan dimana hotspot sering disebutkan sebagai firespot. Kenyataan di lapangan tidak semua hotspot merupakan firespot dan sebaliknya jumlah hotspot yang tidak ada atau sedikit tidak menjamin tidak ada atau sedikit kebakaran (firespot) tergantung kepada situasi cuaca (tutupan awan, suhu) dan luas lokasi kebakaran pada saat satelit melewati lokasi terbakar tersebut. Misalnya jika suatu lokasi terjadi kebakaran dan di atasnya tertutup oleh awan, maka ada kemungkinan satelit tidak dapat mendeteksi hotspot pada lokasi tersebut. Jadi yang paling penting untuk memastikan hotspot adalah firespot perlunya kegiatan patroli lapangan selama 24 jam terutama di desa-desa rawan Karhutla dan verifikasi lapangan seluruh data hotspot.

Dari hasil pengolahan data hotspot tahun 1997 s.d. Mei 2005 yang dilakukan penulis diketahui bahwa bulan potensial kejadian Karhutla di Propinsi Riau yaitu Februari-Maret dan Mei-Agustus, kemudian Oktober-November. Dapat dikatakan bahwa hampir sepanjang tahun Propinsi Riau berpotensi terjadi Karhutla.

Dilihat dari distribusi hotspot menurut lokasi, penulis mencoba mengolah data hotspot tahun 2005 di Riau. Dari hasil pengolahan data diketahui 98,25% hotspot terdeteksi di 6 kab/kota yaitu Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Siak dan Indragiri Hilir. Sedangkan hotspot menurut penggunaan lahan ditemukan 86% dari jumlah hotspot tahun 2005 terdeteksi di 3 kawasan antara lain kawasan HPH/bekas HPH (30%) dan perkebunan (45%) dan HTI (11%) dan sisanya di Areal Penggunaan Lain (APL) atau sering disebut sebagai lahan masyarakat (14%) (BAPEDAL 2005).

Jika dilihat dari kejadian kebakaran (firespot) di Riau selama tahun 2006 (s.d. Agustus), Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan (PUSDALKARHUTLA) Propinsi Riau (2006) mencatat 6786,25 Ha areal terbakar dilaporkan berada di 4 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir (3000 Ha), Rokan Hulu (2.553,50 Ha), Pelalawan (6.786,25 Ha) dan Rokan Hilir (235,75 Ha). Angka ini akan jauh lebih besar lagi jika semua kejadian dan luas kebakaran dapat dicatat dan dilaporkan ke PUSDALKARHUTLA.

Jadi untuk sementara dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil pemetaan daerah rawan Karhutla dan data hotspot serta luas areal terbakar (firespot), Kab/Kota yang perlu menjadi fokus utama pengendalian Karhutla yaitu Kab. Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hilir, Siak, Indragiri Hilir dan Kota Dumai. Artinya jika keenam kab/kota ini diawasi dan dilakukan program pengendalian Karhutla secara baik dan berkelanjutan akan memberikan dampak signifikan terhadap penurunan jumlah kejadian Karhutla dan sekaligus mengurangi kabut asap. Kesimpulan ini tentunya akan lebih baik jika dibuat berdasarkan data hotspot minimal 5 tahun terakhir dan adanya pemutahiran terhadap lokasi-lokasi yang telah dipetakan rawan Karhutla.

Dilihat dari penyebab terjadinya Karhutla, 99,9% disebabkan oleh perbuatan manusia baik sengaja maupun karena kelalaian sedangkan sisanya (0,1%) faktor alam (seperti, petir, letusan gunung berapi) (Adinugroho, dkk. 2005). Hal yang sama juga ditemukan di Propinsi Riau dimana kecenderungan masyarakat dan perusahaan membuka dan menyiapkan lahan (land clearing) dengan cara membakar cukup tinggi karena memang cara ini jauh lebih murah dan mudah dibandingkan cara mekanis atau tanpa bakar (Witoelar (2006): ”cara membakar 10 kali lebih murah dari cara mekanis”). Ditambah lagi ada anggapan bahwa dengan membakar lahan gambut akan menaikkan tingkat keasaman (pH) tanah di lahan tersebut sehingga cocok untuk pertanian dan perkebunan.

Permasalahan utama yang membuat Karhutla akibat perbuatan manusia tersebut sepertinya sulit dikendalikan di Propinsi Riau antara lain:

(1) Secara alamiah karakteristik lahan di Riau memang rawan kebakaran karena dominasi gambut yang jika musim kemarau mudah sekali terbakar. Menurut Istomo (2005) 42.76% dari total luas wilayah Riau merupakan lahan gambut dan merupakan Provinsi di Sumatera dengan gambut terluas (56% lahan gambut Sumatera berada di Propinsi Riau); Di sisi lain kondisi hutan yang alami (primer) di Riau sudah sulit ditemukan, seluruhnya merupakan bekas tebangan atau sudah dirambah sehingga rentan terhadap kebakaran.

(2) Banyak kawasan bekas HPH dan atau HGU yang sudah habis masa pakainya tetapi belum jelas pengembalian dan atau peruntukannya ke dan oleh negara. Lahan-lahan ini juga menjadi bagian dari 1.988.911,64 Ha lahan kritis di kawasan hutan di Provinsi Riau (Dinas Kehutanan Propinsi Riau). Di sisi lain berdasarkan Data Dinas Perkebunan Propinsi Riau (2004), puluhan perusahaan dan koperasi yang tersebar di 9 Kab/Kota yang telah mendapat izin lokasi pembukaan usaha perkebunan dengan luas lahan keseluruhan 394.436 Ha membiarkan konsesinya terlantar atau tidak dikelola sesuai peruntukannya sehingga berpeluang dan sebagian sudah diokupasi oleh pihak lain yang tidak berhak sebagian dengan cara membakar;

(3) Kesadaran masyarakat dan pengusaha akan bahaya Karhutla ditambah pemahaman terhadap berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengendalian Karhutla masih rendah. Dari hasil wawancara dan investigasi di lapangan banyak masyarakat dan atau perusahaan belum mengetahui kalau membuka lahan dengan cara membakar merupakan pelanggaran hukum;

(4) Kuantitas dan kualitas SDM dan peralatan pengendalian Karhutla di Propinsi Riau belum memadai dibandingkan dengan skala permasalahan Karhutla yang ada. Dari sisi kuantitas idealnya semua desa rawan Karhutla memiliki Regu Pemadam dan Pemantau Karhutla terlatih yang dilengkapi dengan peralatan pemadam dan pemantau Karhutla. Kualitas tenaga dan peralatan hendaknya direncanakan dan diadakan berdasarkan analisis kebutuhan lapangan spesifik setiap daerah rawan Karhutla dan Standar Operasi Pengendalian Karhutla Propinsi Riau yang sudah ada;

(5) Sistem pengendalian Karhutla yang dikendalikan oleh organisasi pengendalian Karhutla Propinsi Riau di semua tingkatan belum berfungsi sebagaimana tujuan pembentukannya, terutama dalam mensinergikan pekerjaan pemantauan dan pencegahan, penanggulangan, penegakan hukum Karhutla dan pemulihan kerusakan lahan akibat Karhutla yang menjadi tugas dan fungsi berbagai instansi terkait di tingkat Propinsi sesuai Peraturan Gubernur Nomor 6 Tahun 2006;

(6) Program dan kegiatan pengendalian Karhutla terpadu dan terukur selain belum dibuat, yang dilakukan selama ini masih belum menyentuh permasalahan pokok (primer) Karhutla karena belum ditindaklanjuti dengan kegiatan ril di lapangan oleh institusi yang diberi tugas oleh Gubernur Riau mengendalikan Karhutla. Terpadu dari sisi perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan serta terukur dari sisi cakupan sasaran wilayah dan target waktu penyelesaian masalah Karhutla serta dilaksanakan secara benar dan konsisten di lapangan;

(7) Penegakan hukum terhadap pelaku Karhutla dan atau pemilik/penanggung jawab usaha/kegiatan yang lalai mencegah terjadinya Karhutla di wilayah kerjanya belum terlihat efektif dan memberikan efek jera bahkan terkesan bagi masyarakat upaya penegakan hukum belum berkeadilan dan kurang transparan;

(8) Kegiatan pencegahan Karhutla di tingkat lapangan sangat lemah. Hal inilah yang menjadi masalah utama Pengendalian Karhutla di Propinsi Riau. Artinya meskipun kondisi 1–7 baik tetapi jika kegiatan pencegahan di lapangan sangat lemah tetap saja Karhutla akan berlanjut di Propinsi Riau.

Jika melihat fokus kegiatan pengendalian Karhutla di Riau selama ini cenderung berbobot rapat-rapat misalnya mengadakaan ”road show” Rapat Koordinasi (RAKOR) Pengendalian Karhutla, Apel Siaga di seluruh Ibukota Kab/Kota di Riau, demonstrasi regu pemadam Karhutla, dan lain-lain. Dari segi antisipasi Karhutla, kegiatan tersebut baik karena dilakukan 1-2 bulan sebelum musim kemarau. Pemerintah Propinsi telah melakukan fungsi pembinaan, koordinasi dan mendorong kab/kota agar menindaklanjuti dengan aksi lapangan.

Setiap Rakor biasanya menghasilkan daftar aksi lapangan yang disepakati. Pertanyaannya adalah berapa persen dari seluruh daftar aksi lapangan disepakati tersebut secara sungguh-sungguh dan konsisten dilrealisasikan di lapangan sampai saat ini? Jika ada 75% maka dampaknya pasti akan signifikan terhadap penurunan jumlah hotspot di Propinsi Riau.

Salah satu komponen Pengendalian Karhutla yang sangat penting adalah Komponen Pencegahan. Komponen ini merupakan permasalahan poin (8) juga merupakan bagian dari poin (6). Hal ini mengingat prinsip utama pengendalian Karhutla adalah ”mencegah Karhutla jauh lebih mudah dan lebih murah dari pada menanggulangi Karhutla”.

Pada kesempatan ini penulis akan memfokuskan pembahasan pada komponen ini karena kegiatan ini berdayaungkit tinggi dalam pengendalian Karhutla di Propinsi Riau, selain dapat menghemat dana anggaran pembangunan juga mencegah kerusakan lingkungan dan dampak turunannya yang lebih besar dan lebih mahal lagi.

Untuk melihat apakah kegiatan pencegahan Karhutla telah dilakukan dengan baik di lapangan atau belum, diawali dengan menjawab beberapa pertanyaan yang akan menjadi landasan evaluasi pengendalian Karhutla di Propinsi Riau, yaitu:

1) Apakah 45 kecamatan rawan mengetahui dengan baik desa/kelurahan mana saja di wilayah kerjanya yang rawan Karhutla?
2) Apakah ada petugas patroli khusus di 76 desa/kelurahan rawan Karhutla yang aktif bertugas selama 24 jam?
3) Apakah ada Posko Pengendalian Karhutla yang buka selama 24 Jam pada saat musim kemarau atau musim kebakaran di ke 45 kecamatan rawan Karhutla?
4) Apakah semua aktifitas pembukaan lahan dan siapa yang melakukan pembukaan lahan di 76 desa/kelurahan rawan karhutla dicatat dan dilaporkan?
5) Apakah kepala desa dan masyarakat di 76 desa/kelurahan rawan sudah mendapatkan penyuluhan atau kampanye Anti Karhutla?
6) Apakah sudah terpasang tanda-tanda peringatan DILARANG MEMBUKA LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR di lokasi-lokasi rawan pada 76 desa/kelurahan rawan Karhutla?
7) Apakah kita mendorong terbentuknya Kelompok-Kelompok Masyarakat Anti Karhutla di 76 desa/kelurahan rawan Karhutla? Jika ya, berapa jumlah kelompok masyarakat yang sudah dibentuk dan secara aktif melakukan pengendalian Karhutla di lapangan?
8) Apakah data hotspots sudah diverifikasi paling lambat 1 x 24 jam? Jika ya, berapa persen yang sudah diverifikasi? (Seharusnya 100%).
9) Apakah ada sistem pemadaman Karhutla sedini mungkin termasuk sistem yang dapat menggerakkan masyarakat setempat atau harus menunggu regu pemadam dari kab/propinsi?
10) Apakah di 45 kecamatan tersedia alat pemadam Karhutla yang dapat dimobilisasi cepat ketika ada Karhutla? Jika ya berapa kecamatan yang sudah memiliki?
11) Apakah 45 kecamatan mengetahui atau pernahkah merencanakan dan mengusulkan anggaran penyediaan kebutuhan ril pengendalian Karhutla?
12) Apakah Organisasi Pengendalian Karhutla di semua tingkatan memantau, mencatat dan mengevaluasi secara rutin kondisi aktual lapangan dan seluruh aktifitas lapangan pengendalian Karhutla di Propinsi Riau khususnya di 76 desa/kelurahan rawan Karhutla?
13) Apakah ada pegawai secara khusus ditugaskan mengurus kegiatan Pengendalian Karhutla di 45 kecamatan?
14) Apakah 45 kecamatan secara rutin berkoordinasi dengan POLSEKTA dalam pengendalian Karhutla?
15) Apakah di 45 kecamatan tersedia data lengkap seluruh pemilik lahan baik yang HGU aktif maupun yang tidak aktif serta status lahan?

Dari kelimabelas pertanyaan di atas jika 45 kecamatan dan 76 desa/ kelurahan rawan Karhutla memberikan jawaban ya sebanyak 50% saja (idealnya 100%), maka kejadian Karhutla dan pemunculan asap akibat Karhutla di Propinsi Riau akan dapat ditekan.

Berdasarkan kunjungan lapangan yang dilakukan penulis pada tahun 2005, dari 5 kecamatan rawan Karhutla yang dikunjungi dan hasil wawancara dengan petugas kecamatan dan masyarakat di desa rawan Karhutla ditemukan lemahnya Sistem pengendalian Karhutla di tingkat lapangan. Misalnya, dari organisasi pengendalian Karhutla, belum ada satupun kecamatan tersebut yang membentuk Satuan Petugas Pengendalian Karhutla (SATGAS DALKARHUTLA) sesuai dengan SK Gubernur Nomor 1 Tahun 2003 yang berlaku pada saat itu, kecamatan juga tidak tahu di wilayah kerjanya yang rawan Karhutla (bahkan ada kejadaian Karhutla baru diketahui setelah pihak PUSDALKARHUTLA Propinsi menginformasikan), di lapangan juga tidak tersedia petugas khusus yang mengendalikan Karhutla apalagi petugas patroli lapangan 24 jam, peralatan pemadam Karhutla sederhana seperti mesin pompa air di desa/kelurahan tidak tersedia, kegiatan penyuluhan di lapangan sangat jarang bahkan ada yang belum pernah, tidak ada kecamatan yang mempunyai sistem kewaspadaan dini Karhutla. Mudah-mudahan kondisi ini sudah berubah.

Jika kondisi di atas tetap berlangsung dan tidak ada upaya pernbaikan dari pihak yang diberi kewenangan mengendalikan Karhutla, maka tidak banyak yang bisa diharapkan dari pengendalian Karhutla di Propinsi Riau saat ini.

Perlu disadari bahwa masalah Karhutla di Propinsi Riau berada di desa/kelurahan (di lapangan) bukan di Ibukota Kabupaten/Kota atau Ibukota Propinsi. Sehingga jika ingin menyelesaikan permasalahan Karhutla indikator yang perlu diamati adalah seberapa banyak energi dan sumberdaya yang kita alokasikan melakukan kegiatan ril pengendalian Karhutla di lapangan khususnya desa/kelurahan rawan Karhutla (Idealnya: Proporsi biaya kegiatan lapangan seharusnya lebih besar dari pada biaya di luar yang berhubungan langsung dengan kegiatan di lapangan).

Dalam pertemuan evaluasi pengendalian Karhutla di Propinsi Riau sering sekali muncul permasalahan kurangnya dana menjadi faktor utama kekurangberhasilan pengendalian Karhutla di Riau. Berkaitan dengan masalah ini ada 3 (tiga) kemungkinan penyebab, Pertama: dana memang tidak ada/tidak cukup dialokasikan untuk pengendalian Karhutla; Kedua: ada dana tetapi tidak ada usulan untuk kegiatan pengendalian Karhutla karena Karhutla belum dianggap sebagai masalah prioritas daerah; Ketiga: ada dana dialokasikan untuk pengendalian Karhutla tetapi dalam penyusunan belanja kegiatan belum atau tidak mengenai sasaran pokok permasalahan Karhutla.

Jadi sebelum menyusun perencanaan dan penganggaran pengendalian Karhutla ke depan perlu dilakukan evaluasi terhadap perencananaan dan sistem penganggaran pengendalian Karhutla yang dilakukan selama ini secara menyeluruh di semua tingkatan, sehingga akan diketahui jelas apa sesungguhnya daftar masalah prioritas pengendalian Karhutla di Riau dan darimana harus memulai, seberapa besar dana yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh daftar masalah tersebut, bagaimana mekanisme penyediaan anggaran dan pembelanjaan dananya antara Provinsi dan Kab/kota serta berapa lama waktu yang diperlukan menyelesaikan permasalahan Karhutla jika seluruh dana tersebut dipenuhi oleh rakyat.

Apa yang diharapkan dari kegiatan ini adalah, dengan adanya petugas patroli Karhutla di lokasi rawan dari masyarakat setempat, maka seluruh aktifitas pembukaan lahan baik oleh perusahaan atau masyarakat akan terdata dan terpantau dengan baik (masyarakat setempat juga merasa ada yang mengawasi aktifitas pembukaan lahan mereka), jika kebakaran terjadi akan ditemukan dan dapat dipadamkan sebelum api merambat, tenaga ini juga menjadi tenaga penyuluh bagi masyarakat setempat dan masyarakat juga akan mengganggap bahwa isu Karhutla memang penting. Akan lebih baik jika petugas tersebut diberi sarana komunikasi cepat sehingga dapat mengirimkan laporan Karhutlla ke kecamatan. Dan jika pemerintah ingin menindaklanjuti pembuatan kebijakan diperkenankannya pembakaran terkendali (controlled burning) akan lebih mudah karena sudah ada tenaga khusus yang akan mengawasinya.

Jika dilihat dari sistem pengendalian Karhutla di Propinsi Riau, maka harus dilihat kebijakan peraturan yang mengaturnya. Pada saat ini sistem pengendalian Karhutla di Riau diatur dengan Pergub Nomor 6 Tahun 2006 sebagai pengganti SK Gubernur Nomor 1 Tahun 2003. Jika dibandingkan substansi kedua kebijakan tersebut, maka SK Gubernur Nomor 1 Tahun 2003 lebih jelas mengatur pembagian tugas dan fungsi antara Provinsi dan Kab/kota. Dalam Pergub tidak dijelaskan dengan detail tugas kab/kota, hanya ada pada Pasal 5 ayat (1) yang mengatur kedudukannya saja yaitu sebagai Satuan Pelaksana Operasional Pengendalian Karhutla tanpa rincian tugas dan fungsi yang jelas. Salah satu kewenangan kab/kota dalam Pergub tersebut adalah dalam hal Penertiban dimana disebutkan bahwa ”Kab/Kota mempunyai kewenangan melakukan pembinaan, pengawasan dan mengambil tindakan hukum terhadap setiap orang dan/atau badan usaha/penanggung jawab lahan usaha yang melakukan pembakaran hutan dan atau lahan di areal usaha/lahan garapan pada wilayah kab/kota sesuai peraturan perundang-undangan yang belaku”. Artinya, tugas kab/kota adalah hanyalah pada saat dan atau sesudah Karhutla terjadi, sedangkan kewenangan pencegahan tidak ditulisakan secara jelas sebagai hal pokok yang menjadi kewenangan Kab/Kota. Padahal dalam SK Gubri No. 1 Tahun 2003 seluruh komponen pengendalian secara operasional menjadi tugas dan tanggung jawab Kab/Kota dan kecamatan.

Hal yang sama juga pada pasal 12 ayat (2) menyangkut kewenangan kecamatan disebutkan ”kecamatan mempunyai kewenangan tidak mengeluarkan izin atau memberikan surat keterangan lainnya untuk pembangunan/pengembangan usaha/kegiatan apabila dalam penyiapan lahannya dilakukan dengan cara membakar”. Ayat ini menjadi aneh, bukankah wewenang pengeluaran izin usaha ada di Propinsi dan Kab/kota? Dan bukankah membuka lahan dengan membakar secara jelas dan tegas dilarang?

Dari keseluruhan penjelasan di atas, masih banyak pekerjaan pengendalian Karhutla yang perlu ditata kembali untuk mengefektifkan Pengendalian Karhutla di Propinsi Riau. Semua pihak diajak untuk membuat perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengendalian Karhtula yang mem”bumi”. Kembalilah ke lapangan karena disanalah masalah Karhutla. Tingkatkan kegiatan pemantauan dan pencegahan di lapangan secara benar dan konsisten, maka Riau Bebas Asap akan terwujud. Kelimabelas pertanyaan di atas hendaknya dapat dijawab YA oleh semua pihak yang terlibat dalam Pengendalian Karhutla di Riau. Semakin cepat Karhutla hilang dari Riau semakin banyak dana yang dapat digunakan mempercepat pencapaian tujuan Program K2I di Propinsi Riau terutama untuk penyediaan sarana dan prasarana sanitasi kesehatan terutama masyarakat miskin di pedesaan. SEMOGA.


Kamis, 08 September 2011

Lingkungan Untuk Kesehatan Masyarakat

Silahkan berkunjung ke blog "Kesehatan dan Lingkungan Hidup".

Blog ini menyajikan berbagai informasi tentang lingkungan hidup yang mencakup pengendalian kesehatan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), pencemaran air, udara, dan tanah, serta penegakkan hukum lingkungan demi terwujudnya kesehatan masyarakat.

Mari bersama-sama kita tingkatkan kesadaran dalam menjaga lingkungan hidup yang nyaman dan bersih demi kelangsungan hidup manusia.