Senin, 26 September 2011

REFORMASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI RIAU

ditulis oleh Nelson Sitohang

Indonesia mengalami kebakaran serius selama tahun 1997-1998 yang membakar hutan dan lahan, terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan serta asap yang menyertainya menyebabkan kerusakan serius pada hutan, pencemaran udara, masalah kesehatan masyarakat, kematian, kerusakan harta benda dan pilihan sumber penghidupan serta kerugian ekonomi lain di sebagian besar wilayah bagian selatan Asia Tenggara (Applegate, dkk 2004). Ada berbagai pendapat di antara lembaga-lembaga dan pihak lain mengenai luas lahan yang terbakar di antara lembaga-lembaga dan pihak lain mengenai luas lahan yang terbakar dalam kebakaran hutan dan lahan selama periode itu (FWI/GFW 2001).

Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch (FWI/GFW) (2001), memperkirakan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 telah menghabiskan kawasan hutan seluas + 4,8 juta hektar dan secara ekonomi dampak bencana tersebut telah merugikan negara + Rp. 10 Triliun. Dampak kesehatan yang ditimbulkan bencana ini juga sangat luar biasa. Berdasarkan hasil studi di 8 propinsi tercatat ada 527 kasus kematian, 1.446.120 kasus ISPA, 298.125 kasus Asma dan 58.095 kasus Bronkhitis.

Sebagian besar dari kebakaran dan kabut asap yang menyertainya disebabkan oleh pembakaran tidak sah oleh pemilik lahan besar dan kecil, oleh perencanaan dan praktek penanggulangan kebakaran yang tidak tepat untuk melindungi sumber daya, selain juga kebijakan tata guna lahan yang kurang tepat, serta pelaksanaan yang tidak memadai dari kebijakan-kebijakan yang sudah ada yang dirancang untuk mengurangi kebakaran lahan dan hutan. Peristiwa El Niño juga dianggap sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan serius di Indonesia (Applegate, dkk 2004).

Kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau sampai saat ini juga masih masalah serius di Propinsi Riau dan setiap tahu masih terjadi baik di lahan masyarakat maupun di lahan perusahaan dan kawasan lindung. Pada tahun 2005 saja luas lahan terbakar di Propinsi Riau diperkirakan mendekati angka 70.000 Ha tersebar di 11 Kab/Kota yang ada di Riau (BAPEDAL 2005).

Kebijakan pemerintah berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan dapat dilihat dari dikeluarkannya berbagai peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan kebabakaran hutan dan lahan antara lain: UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Hayati, UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi dari Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati, UU No. 6 Tahun 1994 tentang Ratifikasi dari Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Adinugroho, dkk. 2005 dan Purbowaseso 2004).

Langkah-langkah dan upaya-upaya dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan dan lahan antara lain (Adinugroho, dkk. 2005):

a. Pemasyarakatan tindakan pencegahan dan penanggulangan (pemadaman) melalui kegiatan penyuluhan yang terkoordinasi seperti penggunaan media cetak, elektronik dan sebagainya.
b. Pelarangan kegiatan pembakaran dan pemasyarakatan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB).
c. Peningkatan keterampilan dan kemampuan sumberdaya manusia baik yang berasal dari instansi pemerintah maupun perusahaan.
d. Pemenuhan dan pengadaan peralatan pemadaman kebakaran sesuai dengan standar yang ditetapkan.
e. Melakukan kerjasama teknik dengan negara-negara donor.
f. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
g. Menindak tegas setiap pelanggar hukum/peraturan yang telah ditetapkan.
h. Peningkatan upaya penegakan hukum.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, bahwa kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia merupakan tugas dan tanggung jawab setiap warga negara, dunia usaha, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat. Dalam peraturan dan perundangan tersebut dikatakan (Adinugroho, dkk. 2005):

Ø Setiap orang berkewajiban mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Ø Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran hutan di hutan negara.
Ø Penanggung jawab usaha (perorangan, badan usah milik swasta/negara/daerah, koperasi, yayasan) bertanggung jawab terhadap pengendalian kebakaran di lokasi usahanya.
Ø Pengendalian kebakaran hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang hak.

Berbagai kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan termasuk perundang-undangan yang ada selama ini, baik di tingkat nasional maupun daerah berkaitan belum mampu menurunkan atau menghentikan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau yang merupakan salah satu isu lingkungan hidup penting di Propinsi Riau dan Nasional.

Untuk itu perlu dilakukan studi terhadap kebijakan pemerintah menyangkut kebakaran hutan dan lahan yang digunakan dalam pengendalian Karhutla selama ini meliputi kebijakan operasional maupun kelembagaan dalam kaitannya dengan tingkat efektifitas kebijakan tersebut dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau serta melakukan reformasi kebijakan pemerintah yang operasional dan efektif yang mampu menurunkan kejadian kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya di Propinsi Riau.

Reformasi dan intervensi kebijakan yang dibahas di bawah ini memfokuskan pada aspek teknis/operasional dan kelembagaan yang berhubungan dengan perbaikan tata guna lahan, pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Yang dibahas merupakan masalah-masalah primer/utama, yang bila diatasi secara efektif akan secara berarti mengurangi kejadian penyebaran kebakaran di Propinsi Riau. Pada saat yang sama juga mengurangi sebagian besar masalah kabut asap. Kebijakan-kebijakan yang akan dibahas adalah:

1. Pengelolaan dan zonasi tata guna lahan untuk mencegah kebakaran secara efektif.
2. Tebang habis bagi konversi lahan untuk budidaya.
3. Sistem informasi kekeringan dan kebakaran.
4. Penguatan institusi: pengembangan kapasitas lokal.

Pengelolaan dan Zonasi Tata Guna Lahan untuk Mencegah Kebakaran Secara Efektif

Tata ruang dan zonasi tata guna lahan merupakan masalah penting, terutama pada tingkat propinsi dan kab/kota. Menurut peraturan, setiap propinsi diwajibkan mengembangkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang disepakati secara penuh. Identifikasi dan zonasi tata guna lahan seharusnya dibuat berdasarkan RTRWP tersebut. Banyak bukti menunjukkan bahwa RTRWP belum rampung dan belum disetujui. Selain itu kualitas, keandalan, dan transparansi RTRWP tersebut juga tidak dijamin. Rencana tersebut sering sekali berbeda dengan klasifikasi lahan dari Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang lama, yang masih diandalkan oleh Dephut (Barber, dkk. 1999). Di sisi lain RTRW sering mengalami manipulasi politik lokal atau dengan mudah diabaikan dalam hal alokasi lahan. Perlu dilakukan usaha-usaha untuk menyediakan kapasitas dan fasilitas guna menyelesaikan RTRWP Propinsi Riau sebagai masalah berprioritas tinggi sehingga RTRWP tersebut dapat dipakai untuk zonasi, tata guna dan pengelolaan lahan yang dapat diandalkan.

Seluruh tanah gambut (peatlands) di Propinsi Riau seharusnya diidentifikasi dan diberi batas serta dimasukkan ke dalam Rencana Tata Guna Lahan karena resiko kebakaran di tanah gambut cukup tinggi bila dilakukan penebangan dan drainase (pengeringan) misalnya dengan adanya kanalisasi serta kemampuan tanah gambut untuk menghasilkan kabut dan asap berbahaya. Untuk itu diperlukan peraturan khusus mengenai pembukaan lahan gambut. Segala macam pembakaran, termasuk pembakaran terkendali (controlled burning) harus diatur secara ketat.

Perlu adanya upaya-upaya untuk segera merehabilitasi lahan gambut yang telah dibuka. Perhatian yang cermat perlu diberikan pada lokasi dan kapasitas dari industri kayu termasuk pabrik bubur kertas (Pulp) guna membangun kapasitas yang tepat dan realistis sehubungan dengan suplai bahan baku di masa mendatang dan untuk menempatkan pabrik-pabrik di kawasan yang ramah lingkungan dan ekonomis dari sisi lokasi dan kebutuhan serat mereka.

Tebang Habis untuk Konversi ke Kegiatan Budidaya

Seluruh proses perizinan perlu disederhanakan dan ditetapkan dalam suatu kesatuan prosedur standar yang konsisten bagi HTI dan perkebunan. Seluruh surat Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) untuk menebang kayu di lahan yang diidentifikasi pemerintah untuk konvesi seharusnya diawasi dengan baik sehingga tidak terjadi pengalihan lahan hutan untuk penggunaan lain, seperti untuk perkebunan kelapa sawit.

Mengingat posisi Propinsi Riau yang unik dengan berbagai kemungkinan yang besar untuk menjadi daerah resapan karbon dioksida (CO2) melalui hutan tanaman yang strategis di daerah yang ditumbuhi alang-alang (imperata cyclindrica), penting bagi Propinsi Riau untuk melakukan kajian kemungkinan untuk perdagangan karbon (Carbon Trade). Rehabilitasi padang alang-alang dengan tanaman perkebunan yang produktif dan prospek pasar yang positif akan mengurangi tekanan untuk menebang habis dan membakar kawasan lahan gambut guna dikonversi menjadi HTI dan pertanian (Bratasida 2003).

Sistem Informasi Kekeringan dan Kebakaran

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) adalah sumberdaya pemerintah yang kapasitas manajemen informasinya perlu dipertahankan dan diperluas guna memberikan ramalan cuaca sebagai bagian penting dari Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) termasuk di Propinsi Riau. BMG perlu memiliki komunikasi elektronik yang dapat diandalkan dengan stasiun-stasiun cuacanya dan dengan seluruh Oranisasi Pengendalian Kebakakaran Hutan dan Lahan (DALKARHUTLA) di Propinsi Riau. BMG Riau seharusnya mempunyai website yang diperbaharui terus-menerus untuk ramalan nasional dan regional/propinsi. Seharusnya seluruh organisasi DALKARHUTLA di Propinsi Riau seharusnya memiliki fasilitas komputer yang mampu mengakses dan menganalisis data dan informasi cuaca, titik panas (hotspot) dan kebakaran yang berasal dari sumber-sumber lokal, nasional dan internasional.

Setiap Kabupaten/Kota di Propinsi Riau terutama yang rawan kebakaran sebaiknya mempunyai suatu “Indeks Bahaya Kebakaran Kab/Kota” dan secara teratur menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi-kondisi bahaya kebakaran. PUSDALKARHUTLA sebagai markas strategis selama masa kebakaran, seharusnya memiliki kapasitas komunikasi untuk menunjukkan kebakaran dan berkomunikasi secara efektif dengan pemadam kebakaran.

Penguatan Kelembagaan: Pengembangan Kapasitas Lokal

Sesuai dengan RTRWP dan ciri khas setiap kab/kota, perlu dirancang “Rencana Pemadaman dan Pencegahan Kebakaran Propinsi”. Masalah koordinasi di antara badan/dinas/instansi terkait (misalnya siapa, kapan dan bagaimana) sebaiknya didefenisikan secara jelas dalam rencana ini. Diperlukan Institusi Penelitian dan Pengembangan Kebakaran di Propinsi Riau untuk melakukan penelitian mengenai sifat-sifat kebakaran dan kabut asap di berbagai wilayah Propinsi Riau. Penelitian tersebut sebaiknya digunakan untuk membantu Kab/Kota menyiapkan rencana pemadaman dan pencegahan kebakaran.

Memperkuat penegakan peraturan kehutanan di tingkat propinsi dan kabupaten guna meningkatkan pencegahan kebakaran hutan dan menyediakan koordinator kunci untuk pemadam kebakaran akan sangat berguna. Dibutuhkan peningkatan jumlah personil perlindungan hutan yang terlatih dan peningkatan secara sistematis jumlah personil pemadam kebakaran yang terlatih dan peningkatan secara sistematis kapasitas dari seluruh pelayanan dan otoritas yang berkaitan dengan pengendaliaan kebakaran mulai dari tingkat Propinsi sampai tingkat desa/kelurahan.

Diperlukan program pelatihan di tingkat propinsi guna melatih para pelatih (training of trainer) dalam kesiapan menghadapi kebakaran dan mencegah kebakaran. Pelatih-pelatih ini selanjutnya dikirim ke seluruh kab/kota terutama yang rawan karhutla guna melatih penduduk setempat dalam teknik-teknik penting dan guna melakukan simulasi operasi pemadaman kebakaran sebagai bagian dari latihan di berbagai kab/kota.

Kesadaran dan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan, pengendalian dan pemadaman kebakaran amat penting bagi program penanggulangan yang efektif, program penyadaran masyarakat sebaiknya segera dilaksanakan di seluruh Propinsi Riau. Sebagian dana pendukung untuk memulai program ini bisa berasal dari pemerintah kab/kota di Propinsi Riau.

Untuk pencegahan dan pemadaman kebakaran yang efektif, diperlukan perencanaan, pelatihan dan operasi strategis yang jelas dan dikembangkan dengan baik di tingkat kab/kota. Antara kab/kota yang satu dan lainnya mungkin terdapat perbedaan dari segi lingkungan dan manusianya. Beberapa kab/kota memiliki lebih banyak hutan dan pada lainnya, sebagian memiliki areal tanah gambut yang lebih luas (seperti INHIL, Bengkalis, ROHIL, Siak dan Dumai) daripada kab/kota lainnya (BAPEDAL Riau 2003). Beberapa kab/kota memiliki proporsi konsesi HPH atau HTI yang lebih besar, sedangkan yang lainnya memiliki lebih banyak kegiatan perkebunan atau pertanian rakyat skala kecil. Tidak ada satu sistem pencegahan kebakaran dan rencana pemadaman yang sesuai dengan semua kebutuhan berbagai kab/kota yang ada Riau.

Kebutuhan pertama adalah melakukan penelitian yang lebih terarah tentang sifat kebakaran di jenis-jenis hutan dan atau lahan yang berbeda. Misalnya kebakaran di HTI akasia mempunyai masalah berbeda dari kebakaran di hutan dipterocarpaceae; kebakaran di lahan mineral berbeda dengan di lahan gambut, kebakaran di kawasan lindung berbeda dengan di eks HPH (Adinugroho, dkk. 2005). Hanya berlandaskan penelitian seseorang dapat memulai merancang rencana propinsi dengan penekanan situasi kab/kota yang berbeda-beda. Menyusun rencana pencegahan kebakaran propinsi adalah prioritas utama. Hal tersebut bahkan memiliki signifikansi yang lebih besar saat ini mengingat proses desentralisasi dan otonomi daerah yang kualitasnya semakin baik (Bratasida 2003).

Kebutuhan kedua adalah mengadakan program pelatihan dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program pelatihan tersebut akan memerlukan beberapa tahap. Pada tingkat propinsi diperlukan program pelatihan yang intensif dan berkualiatas tinggi guna melatih para pelatih dalam persiapan menghadapi kebakaran dan dalam teknik memadamkan api. Begitu selesai dilatih, para pelatih segera dikirimkan ke kab/kota untuk menjalankan sekolah pelatihan tingkat lokal dan melalui kerjasama dengan berbagai instansi di tingkat kab/kota melangsungkan simulasi operasi pemadaman kebakaran di lapangan.

Penerapan usulan reformasi kebijakan untuk penanggulangan kebakaran di Indonesia memerlukan pendekatan berjenjang yang melibatkan tiga tahap utama. Tahap pertama adalah menyiapkan sebuah investasi yang dapat diterima pada tingkat propinsi dan kab/kota dan dimasukkan ke dalam Rencana Tindak Terpadu untuk Penanggulangan Kebakaran di Propinsi Riau. Tahap kedua tergantung kepada kepastian bahwa pemerintah Propinsi Riau akan melakukan perubahan dan perbaikan kebijakan yang penting disertai peraturan-peraturan yang tepat yang dipakai secara universal pada tingkat kab/kota. Tahap ketiga adalah memastikan pelaksanaan komponen-komponen dari strategi manapun dengan mempromosikan nilai serta keefektifannya kepada instansi atau lembaga terkait.

Bidang-bidang yang perlu diperkuat diidentifikasi dan membentuk basis bagi rekomendasi untuk membangun kapasitas pengelolaan kebakaran yang kuat adalah sebagai berikut:

a. Rasionalisasi koordinasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau dan Kab/Kota.
b. Penguatan kapasitas untuk mengembangkan rencana pengendalian kebakaran di tingkat lokal guna memfasilitasi rasa memiliki.
c. Pelatihan kebakaran yang terdesentralisasi bagi penduduk lokal.
d. Pendidikan dan program penyebaran informasi untuk meningkatkan program pencegahan.
e. Pengembangan sistem peringatan dini.
f. Peningkatan kemampuan deteksi.
g. Pemetaan yang terus di-upgrade.

Di tingkat Propinsi atau kab/kota terlihat secara nyata adanya program pencegahan dan kesiapan yang substansial untuk mengendalikan kebakaran yang tidak sengaja atau merambat secara tidak sengaja. Berikut ini alasan bagi kurangnya kesiapan (Applegate, 2003):

a. Struktur yang tidak memadai untuk merespons peringatan dini dan dalam menyediakan informasi serta panduan bagi operator lapangan.
b. Tidak ada kepemilikan yang jelas atas tanah adat, sehingga tidak ada perlindungan atau kesiapan dibandingkan dengan tanah milik pribadi atau milik perusahaan.
c. Tidak ada sistem perizinan untuk mengatur pemakaian api pada periode bahaya kebakaran.
d. Tidak ada proses pendidikan dan proses informasi yang tepat dan sistematik untuk meminimalkan kebakaran selama periode berbahaya.
e. Jelas dibutuhkan pendekatan sistematik untuk pencegahan, diawali dengan kampanye pendidikan masyarakat dan sistem penyebaran informasi yang serius untuk menjamin bahwa pesan diterima dengan baik oleh masyarakat terutama daerah rawan kebakaran.

Kondisi di atas menyarankan bahwa pemecahan masalah tidak akan ditemukan dengan menggunakan teknologi tinggi di lapangan, tempat terjadinya kebakaran, yang dibutuhkan adalah petugas kebakaran yang terlatih, terkoordinasi dan dilengkapi peralatan yang baik, serta pengembangan sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan pemerintah Propinsi Riau bersama pemerintah Kab/Kota.

Berbagai hal perlu diusulkan ke Pemerintah Propinsi Riau dalam rangka mengembangkan lebih lanjut suatu rencana tindakan terpadu pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau guna mencapai tugas-tugas sebagai berikut:

- Mengembangkan kebijakan, standar peraturan dan perundangan dan panduan yang diperlukan di tingkat propinsi, kab/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan perusahaan.
- Memperkuat tanggapan/respons yang terkoordinasi untuk pemadaman api dan pencegahan kebakaran di tingkat propinsi, kab/kota, kecamatan, kelurahan/desa dan perusahaan.
- Mengembangkan Sistem Peringatan Dini (SPD) Propinsi dan kab/kota yang baik dan terkoordinasi.
- Mengembangkan pendekatan yang terkoordinasi dan terpadu untuk mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk rehabilitasi dan pemulihan ekonomis dari lahan yang terdegradasi karena kebakaran di kawasan yang terpilih sebagai berprioritas tinggi serta di kawasan lindung.
- Meningkatkan kapasitas dan kemampuan kelembagaan dari organisasi-organisasi pengendalian karhutla yang ada di Propinsi Riau.

0 komentar: