Selasa, 07 Februari 2012

AMDAL dan UKL-UPL Mahal: Belum ada Tarif untuk Penilaian AMDAL dan Pembahasan UKL-UPL

Ditulis oleh Nelson Sitohang


Salah satu alasan mengapa penyusunan dokumen lingkungan seperti dokumen AMDAL dan UKL-UPL dihindari oleh investor saat ini adalah karena tidak adanya tarif yang jelas untuk pembuatan dan proses medapatkan persetujuan layak lingkungan untuk AMDAL dan/atau rekomendasi UKL-UPL. Investor menggaap membuat dokumen lingkungan itu sulit dan mahal. Kondisi ini secara tidak langsung memperlambat pertumbuhan investasi di Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL pada pasal 36 dan 37 memang sudah mengatur mekanisme pembiayaan AMDAL seperti biaya pelaksanaan kegiatan komisi ditanggung oleh pemerintah sesuai kewenangannya dan biaya penyusunan dan penilaian dokumen AMDAL dibebankan kepada pemrakarsa tetapi dalam prakteknya masih ditemukan di berbagai daerah tidak ada tarif yang jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemrakarsa sampai pemrakarsa mendapatkan surat persetujuan layak lingkungan dan/atau rekomendasi UKL-UPL.

Jika hal ini hal ini terus dibiarkan makan akan kontra produktif dengan kampanye pemerintah agar semua usaha dan atau kegiatan melaksanakan bisnis yang ramah lingkungan. Pemerintah hendaknya memberikan kemudahan kepada pengusaha dalam proses mendapatkan dokumen lingkungan. 

Praktek yang masih terjadi sampai saat di lapangan dan berdasarkan informasi dari para konsultan penyusun dokumen AMDAL dan UKL-UPL masih dijumpai biaya yang harus diserahkan Konsultan kepada institusi penilai AMDAL sangat besar dan tidak pernah ada tarif yang standar dan bahkan untuk pembahasan UKL-UPL sampai penerbitan rekomendasi sering sekali bianyanya lebih mahal dari jasa konsultan penyusun. Padahal proses yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk Penyusunan dokumen UKL-UPL sudah sederhana tetapi menjadi terlihat jadi rumit dan sangat berat karena tidak ada ketentuan yang mengatur tarif pembahasannya. Jika pemrakarsa dan tim penyusun menanyakan apakah ada aturan yang menetapkan besaran tarif maka instansi yang bersangkutan sering tidak dapat menunjukkan. Pertanyaannya adalah dana yang disetorkan oleh pemrakarsa dan/atau konsultan tersebut menjadi milik siapa? Pemerintahkah atau pihak-pihak tertentu, jika diserahkan ke kas daerah maka tentunya ada peraturan yang menetapkan besaran tarifnya.

Kementerian Lingkungan Hidup telah mengeluarkan banyak peraturan menyangkut AMDAL dan UKL-UPL dengan satu keinginan agar instrumen lingkungan wajib ini dapat dilaksanakan dengan mudah dan berfungsi mengawal pencegahan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dari keseluruhan peraturan menteri tersebut mengapa Kementerian Lingkungan Hidup tidak berani membuat peraturan yang mengatur penetapan standar tarif biaya penilaian dokumen AMDAL dan Pembahasan Dokumen UKL-UPL di Pusat, Provinsi dan Kab/Kota bahkan mencantumkan ketentuan kejelasan tarif dalam persyaratan Linsensi Komisi Penilai AMDAL di setiap tingkatan. Persyaratan ini tidak kalah penting dari aturan ketentuan menyangkut sarana dan prasaran ruang rapat komisi. Hal inilah sering sekali kita jumpai di lapangan dimana para konsultan AMDAL ketika mengajukan biaya penyusunan dokumen AMDAL kepada pemrakarsa memisahkan biaya penyusunan dan penilaian/pembahasan karena bagi mereka komponen biaya penilaian/pembahasan tersebut sangat tidak jelas, tidak pasti dan tidak transparan.

Ketidakjelasanan tarif ini juga mempengaruhi secara langsung akan mempengaruhi kualitas dokumen AMDAL dan UKL-UPL karena akan ada peluang lolosnya dokumen AMDAL dan UKL-UPL yang tidak  berkualitas tetapi memberikan "fasilitas" bayaran yang lebih kepada pihak-pihak tertentu. Bahkan mungkin dokumen cukup dinilai/diulas seadanya saja asal pihak pemrakarsa dan atau konsultan penyusun menyetujui besar tarif yang ditetapkan.

Jika ada Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah menetapkan tarif untuk penilaian AMDAL dan pembahasan dokumen UKL-UPL bahkan membuat Peraturan Daerah menyangkut biaya penerbitan Surat Keputusan Kelalayakan Lingkungan dan Rekomendasi UKL-UPL patut diberikan apresiasi karena mengeluarkan kebijakan yang membangunan iklim investasi yang baik di Indonesia. 

Semoga ada pihak yang berani melakukan terobosan untuk menghilangkan salah satu penghambat AMDAL dan UKL-UPL menjadi lebih mudah dan efektif. L)

3 komentar:

Unknown mengatakan...

AMDAL, UKL-UPL, SPPL menjadikan lahan pengembalaan sapi perah bagi BLHD Prov/kab/kota. Biaya tinggi dan tdk transparan (pungutan bawah tangan) maka suka tdk suka wajib dituruti jika mau lancar berurusan dengan BLHD. DITAMBAH biaya Fatwa kesesuaian RTRW dari Bappeda atas permintaan BLHD krn penafsiran Permenlh 16-2012 sepotong-potong dan tdk membaca UU dan PP terkait dengan bidang usaha khususnya MIGAS dan Izin Lingkungan oleh Gub/Bup/Walkot sangat-sangat mahal dibayarkan bawah tangan. inilah aji mumpung otonomi daerah.

Unknown mengatakan...

nbouAMDAL, UKL-UPL, SPPL menjadikan lahan pengembalaan sapi perah bagi BLHD Prov/kab/kota. Biaya tinggi dan tdk transparan (pungutan bawah tangan) maka suka tdk suka wajib dituruti jika mau lancar berurusan dengan BLHD. DITAMBAH biaya Fatwa kesesuaian RTRW dari Bappeda atas permintaan BLHD krn penafsiran Permenlh 16-2012 sepotong-potong dan tdk membaca UU dan PP terkait dengan bidang usaha khususnya MIGAS dan Izin Lingkungan oleh Gub/Bup/Walkot sangat-sangat mahal dibayarkan bawah tangan. inilah aji mumpung otonomi daerah.

Unknown mengatakan...

Kami sedang proses Dokumen AMDAL untuk Usaha KLINIK KESEHATAN, mulai dari pengambilan sampel air, udara, tanah, pemeriksaan penanganan limbah infeksius dan non infektan, , rincian biaya sbb :
Study tenaga Ahli Rp. 3.500.000
Asisten Ahli Rp. 2.500.000
LAB Rp 2.500.000
Draft Laporan Rp. 500.000
Laporan Final Rp. 500.000
Penilaian dan SK BLH Rp. 10.000.000
TOTAL Rp. 19,500.000..
biaya yang sangaat mahal...dan tidak masuk akal